Senin, 21 Februari 2011

Pelarangan Buku dalam Politik Kebudayaan Indonesia

Librisida merupakan pembunuhan terhadap buku. Dimana didalamnya menunjukkan adanya praktik dari suatu rezim yang berdiri dibelakangnya yang mengindikasikan adanya suatu kelompok yang ingin mendominasi negara. Librisida ini sudah sejak lama terjadi. Pelarangan terhadap buku ini merupakan pembunuhan secara halus dan tergolong baru dalam kebencian terhadap buku. Sering kali terjadi peristiwa yang ekstrim dalam kebencian terhadap buku yakni pembakaran buku, tidak hanya buku yang dibakar tetapi perpustakaannya dan pengarangnya.
Pelarangan buku dapat dijumpai dalam suatu pergolakan misalnya dalam situasi perang dan revolusi dapat juga di jumpai dalam zaman normal. Pertama dalam situasi perang. Kedua, pembakaran terhadap buku juga ditandai oleh gerakan sebuah rezim baru. Ketiga, penghancuran buku dan kebencian buku selama masa revolusi. Keempat, penghancuran buku secara resmi dan disponsori oleh negara/pemerintah dalam situasi normal. Dibalik adanya penghancuran terhadap buku ada peran intelek di dalamnya. Kaum intelek bertemu dengan kaum vandal, melanjutkan pembenaran intelektualnya ke dalam aksi pembakaran.
Di Indonesia praktek pelarangan buku ini muncul akhir 1950-an seiring dengan mendominasinya kekuatan militer di Indonesia. Pelarangan tersebut ditunjukkan kepada pers sepanjang tahun 1957. Buku yang dilarang beredar karya Pramoedya Ananta Toer “Hakiau”, di Indonesia penulis ini dipenjara selama 1 tahun. Puisi karya Sabar Anantaguna “Yang bertanah air tapi tak bertanah” dan dua  lainnya karya Agam Wispi “Tak terbungkamkan “ dan “Matinya seorang petani”. Kemudian Soekarno menerbitkan PP no.4 tahun 1963 yang memberikan kewenangan penuh pada kejaksaan agung untuk melarang peredaran barang-barang cetak yang mengganggu ketertiban umum. Militer masih memiliki pengaruh kuat dalam perpolitikan lokal dan nasional juga ikut aturan ini. Buku yang berbau gagasan nekolim dilarang.
Berdasarkan TAP MPR XXV MPRS 1966, Pemerintah membubarkan PKI dan melarang ajaran-ajaran Marxisme, Leninisme, Komunisme. Pada orde 1989 Kejaksaan Agung membentuk clearing house yang befungsi meneliti isi sebuah buku dan memberi rekomendasi langsung kepada Jaksa Agung. Clearning house secara resmi bekerja di bawah Kejaksaan Agung yang terdiri dari JAM Intel dan Subdirektorat bidang pengawasan media massa, Bakorstanas, BAKIN, Bais, ABRI (kemudian jadi BIA), Departemen Penerangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Agama.
Peristiwa 1965 yang terjadi pada periode ini menjadi titik balik bagi Indonesia. Dimulai dari peristiwa G 30 S, yang kemudian berlanjut pada penumpasan dan penghancuran lembaga-lembaga yang dianggap berafiliasi pada PKI. Lembaga pemerintahan lain selain kejaksaan agung yang melarang buku adalah Depertemen Pendidikan dalam kebudayaan melalui Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan tentang larangan mempergunakan buku-buku pelajaran, perpustakaan dan kebudayaan yang dikarang oleh oknum-oknum dan anggota-anggota ormas dibekukan sementara waktu kegiatannya.
Gerakan reformasi berhasil merebut kembali kemerdekaan berkumpul, berserikat dan berpendapat. Ketetapan ini di muat dalam UU RI no. 16 tahun 1945 pada tahun 2004, DPR mencabut kewenangan Kejaksaan Agung untuk mencabut, melarang peredaran barang cetak tentang Kejaksaan RI.
Pada 2006 Kejaksaan Agung kembali melarang peredaran buku. Tahun 2007 Kejaksaan Agung melarang 13 buku untuk SLTP & SLA yang mengacu pada kurikulum 2004. Kejaksaan Agung berdalih buku tersebut memutar balikkan sejarah akrena tidak mencantumkan PKI dibelakang G 30 S dan tidak memasukkan Peristiwa Madiun 1948. Kemudian pada akhir 2009 Kejaksaan Agung melarang 5 buku diantaranya karya John Roosa: Dali Pembunuh Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (ISSI dan Hasta Mitra, 2008), serta karya Rohman Dwi yulianti dan Muhisdin M. Dahlan, Lekra Tak Membakar Buku : Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 ( Yogyakarata : Merakesumbang, 2008). Buku-buku ini dilarang karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Kejaksaan angung memonopolo definisi atas “ Ketertiban Umum” dan tidak merasa perlu membuktikan bahwa peredaran buku ini meresahkan masyarakat. Padahal buku ini telah beredar selama satu tahunatau lebih tanpa menimbulkan gejolak sama sekali.
Rezim Pemerintah di indonesia
1.      Jendral Soeharto
2.      Jendral Marden Panggabean
3.      Jendral Soemito
4.      Jendral L. B Moerdani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar