Jumat, 25 Februari 2011

Berjuang di Gerbong Kereta : Bertahannya Pedagang Asongan di KRL Bogor – Jakarta


Abstrak
Tulisan ini ingin menjelaskan mengenai pedagang asongan yang berjualan di gerbong KRL Bogor-Jakarta dan menjelaskan tentang bagaimana daya tarik kereta kelas ekonomi ini menjadi lahan mencari nafkah bagi pedagang asongan. Bagaimana terbentuknya pedagang asongan di KRL ini hingga memunculkan perundang-undangan yang melarang mereka melakukan transaksi jual beli yang dianggap oleh PT. KAI dan sebagian masyarakat mengganggu kenyaman pengguna KRL. Serta bagaimana bertahannya mereka dari razia-razia yang di lakukan oleh PT KAI bersama tim gabungan dari Kencana Lima, Polisi, dan TNI.

Pengantar
Di negara berkembang sektor informal ini berperan penting. Dalam hal ini Indonesia termasuk di dalamnya. Di Indonesia, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2008, 73,53 juta dari 102,05 pekerja Indonesia (72 persen) bekerja di sektor informal. [1] Sektor informal ini adalah sektor yang tidak terorganisasi, tidak teratur  dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar. Sektor ini memiliki ciri-ciri seperti jumlah unit usaha yang banyak tetapi dalam skala yang kecil, struktur kepemilikannya individu atau keluarga, dan modal relatif kecil jika dibandingkan dengan sekor formal. Menurut Harris White, banyak pekerja yang bekerja di sektor informal ini di cap sebagai black economy, shadow economy dan underground economy. Sektor informal ini mengalami marginalisasi dalam struktur ekonomi karena konstribusi secara ekonomi bagi kota sangat rendah bahkan tidak ada, sering kali menjadi masalah dalam keamanan dan ketertiban di perkotaan. Di dalam masyarakat kehadiran para pedagang di sektor informal ini seperti pedagang asongan, pedagang kaki lima, kuli angkut, dan lain-lain sering di anggap sebagai orang yang berpendidikan rendah, miskin, tidak punya keterampilan khusus. Pada dasarnya keberadaan pekerja di sektor informal ini merupakan suatu ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan.

Dalam penelitian ini ingin mengkaji mengenai pedagang asongan yang berjualan di gerbong KRL ekonomi. Kegiatan perdagangan ini termasuk ke dalam wirausaha dalam sektor informal mencakup usaha perorangan yang bersala kecil. Salah satu dari bidang ekonomi informal ini antara lain pedagang kaki lima dan pedagang asongan. Pedagang asongan atau keliling adalah pedagang yang menawarkan barang dagangannya langsung kepada pembeli dengan modal yang relatif kecil, siapa saja dapat melakukannya dan tidak ada izin resmi. Para pedagang asongan ini dapat ditemui di sudut kota besar seperti di terminal, tempat wisata, stasiun dan tempat-tempat ramai lainnya.

Objek penilitian didasarkan pada pedagang asongan yang memilih gerbong KRL Ekonomi menjadi lahan untuknya mencari nafkah. Angkutan publik ini pada kenyataannya sedikit bergeser dari fungsi awal tetapi tidak merubah fungsi awalnya tersebut. Fungsi yang sedikit bergeser yang telah dijelaskan diatas tadi yaitu selain kereta yang berfungsi sebagai angkutan publik dan juga kereta yang berfungsi sebagai lahan tempat berdagang para pedagang. Mereka tidak punya lahan untuk berdagang, karena terlalu mahal untuk menyewa ruko atau tempat berdagang lainnya. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan gerbong kereta ekonomi yang ramai oleh penumpang serta penjagaan yang tidak terlalu ketat. Harga tanah membumbung dan kota-kota dunia ketiga dilanda gelombang spekulasi tanah begitu pengembangan kota dilaksanakan.[2] Sulit mencari lahan untuk tempat berdagang dan terlalu mahalnya mereka untuk membayar sewa mendorong mereka untuk mencari peluang alternatif lain untuk berinvestasi.

Menyangkut hal yang diatas Undang-Undang Perkeretaapian telah membuat peraturan pasal 207 UU Nomor 23 tahun 2007 tentang perkeretaapian bahwa secara garis besar penumpang yang tidak memiliki tiket akan di denda, pedagang asongan, pengamen, dan pengemis di larang berdagang, mengamen dan mengemis di dalam gerbong kereta. Bagi mereka yang melanggar akan diancam hukuman tiga bulan penjara atau denda Rp 15 juta.

Untuk memahami dan menggali penelitian, tulisan ini dilengkapi data pendukung. Bagian pertama, profil dan sejarah KRL Ekonomi Bogor Jakarta, dalam bagian ini menjelaskan keadaan dan kelayakan kereta kelas ekonomi ini sebagai alat transportasi publik. Kedua, data-data yang bersumber dari wawancara dan dokumentasi.



Sistematika Penulisan
Secara garis besar tulisan ini akan menjelaskan beberapa bagian. Bagian pertama, berisikan pengantar yang menerangkan tentang pentingnya peran sektor informal dalam menggerakan roda perekonomian dan pengentasan pengangguran. Bagian yang kedua, menerangkan mengenai KRL Ekonomi Bogor-Jakarta sebagai transportasi alternatif para kaum urban. Bagian yang ketiga, mendeskripsikan tentang pedagang asongan yang melakukan transaksi jual-beli di dalam gerbong kereta. Bagian yang keempat, menjelaskan tentang gerbong kereta sebagai lahan untuk mencari nafkah bagi kaum marginal. Bagian yang kelima, dampak yang dirasakan pengguna kereta karena banyaknya pedagang yang berjualan di gerbong kereta ini. Bagian yang keenam, peraturan bagi pedagang asongan muncul. Ketujuh, penutup. Dalam bagian ini merupakan bagian dari keseluruhan pembahasan dan bagaimana pendapat penulis dalam memandang suatu fenomena yang sedang dibahas ini.


Jejak Historis KRL Ekonomi Bogor-Jakarta
KRL Ekonomi merupakan salah satu pelayanan dari Stasiun Bogor yang melayani penumpang rute Bogor-Jakarta. KRL ini kereta yang tersibuk jika dibandingkan dengan KRL yang lainnya.  Kereta Rel Listrik terbagi atas 3 kelas, yaitu : kelas pertama kereta Expres Pakuan yang hanya berhenti pada stasiun-stasiun tertentu saja seperti Stasiun Bojong Gede, Stasiun Depok Baru, Pondok Cina, Stasiun Universitas Indonesia, Stasiun Djuanda kemudian langsung menuju Stasiun  Jakarta Kota dengan harga tiket Rp. 11.000,  kelas yang kedua yaitu kereta Ekonomi AC yang berhenti disetiap stasiun dengan harga tiket Rp. 5.500 tujuan Stasiun Jakarta Kota, kereta ini mempunyai fasilitas yang sama dengan kereta Expres Pakuan, kereta kelas ketiga yaitu Kereta Ekonomi yang berhenti disetiap stasiun dengan harga tiket Rp. 2000 tujuan Stasiun Jakarta Kota.
Jumlah armada KRL Ekonomi yang dipunyai oleh stasiun Bogor untuk rute Bogor-Jakarta ini berjumlah 5 unit. Kereta ini mempunyai 8 gerbong. Masing-masing gerbong mempunyai daya tampung penumpang sebanyak 76 orang, pergerbong terdiri dari 50 tempat duduk. Akan tetapi pada kenyataannya bisa lebih dari itu terutama pada saat jam berangkat para pekerja dan jam pulang pekerja. Para penumpang KRL Ekonomi ini yang sering kali tidak memperhatikan keselamatannya. Bahkan ada penumpang yang memaksakan diri untuk menaiki atap gerbong. Tentu saja hal ini membahayakan bagi dirinya sendiri dan dapat mengganggu kenyamanan para pengguna kereta ini. Banyak kasus tentang penumpang yang memaksakan diri untuk menaiki kereta ekonomi yang sudah terlampau sesak oleh penumpang. Dimana para penumpang ekonomi yang berada di atas gerbong terkena kabel KRL yang berkekuatan tinggi. Hal ini tidak memunculkan rasa takut sehingga para penumpang tetap saja menaiki atap gerbong, padahal sering ada teguran dan larangan dari petugas stasiun.


Fasilitas yang ada di dalam gerbong kereta terdiri dari 8 kipas angin yang tidak berfungsi. Serta terdapat lampu sebagai penerangan gerbong yang berfungsi tetapi tidak jarang ada salah satu gerbong yang lampu penerangannya tidak berfungsi. Dalam satu gerbong terdapat 4 pintu keluar masuk dari sisi kanan dan kiri yang kondisinya sudah tidak layak dan bahkan dapat membahayakan para penumpang. Selain itu, kondisi kaca jendela banyak yang pecah dan atap gerbong pun bocor sehingga pada saat musim hujan, air hujan bisa masuk ke dalam gerbong. Hal ini tentu saja mengganggu kenyaman para penumpang.

Denah. 1
Rute Perjalanan KRL JABODETABEK

 
Tabel. 1
Jadwal pemberangkatan KRL Ekonomi Bogor tujuan Jakarta
 
 Rute yang dilewati KRL Ekonomi di mulai dari stasiun pemberangkatan awal Stasiun Bogor melewati Stasiun Cilebut, Bojonggede, Citayam, Depok Lama, Depok Baru, Pondok Cina, Universitas Indonesia, Universitas Pancasila, Lenteng Agung, Tanjung Barat, Pasar Minggu, Pasar Minggu Baru, Duren Kalibata, Cawang, Tebet, Manggarai, Cikini, Gondangdia, Gambir, Djuanda, Sawah Besar, Mangga Besar, Jayakarta, pemberhentian terakhir Stasiun Jakarta Kota.

Pedagang Asongan di KRL Ekonomi Bogor-Jakarta

Pedagang asongan di KRL bogor-Jakarta ini menawarkan berbagai macam barang mulai dari kamus bahasa Inggris, buku kumpulan doa lima ribu tiga (maksudnya lima ribu rupiah dapat tiga buku), sarung HP, pinsil warna, mainan, jeruk, apel, klengkeng, gambar tempel, penambal panci, aneka koran, tabloid, dan majalah, korek senter, kaos kaki, casing hp, aksesoris hp, jepitan rambut, kerupuk kulit, permen asem, tissue, tahu sumedang,  sampai korek kuping. Kemudian ada lagi penjual minuman ringan. Mereka menenteng jualannya dalam ember plastik hitam yang diisi dengan berbagai macam minuman dalam kemasan botol atau plastik, lengkap dengan potongan es batu yang berfungsi sebagai pendingin atau menggunakan keranjang plastik yang ditumpuk kemudian di bagian bawahnya diberi roda sehingga bisa didorong sepanjang gerbong. Mereka berjualan barang dagangan yang sama, sehingga harganya pun bersaing dengan pedagang lainnya.

Foto. 2
Kegiatan Pedagang Asongan di KRL Ekonomi Bogor-Jakarta
 

Keterangan Gambar : 1. Foto pedagang buah mangga yang sedang beristirahat diluar gerbong. 2. Foto pedagang aksesoris remaja yang sedang melayani pembelinya. 3. Foto pedagang  minuman ringan yang sedang mempersiapkan dagangannya untuk di perjual belikan di dalam gerbong kereta. 4. Foto pedagang minuman ringan yang berjualan diluar gerbong kereta.

Harga buah yang diperjual belikan bervariasi, mulai dari Rp1.000/buah sampai Rp5.000/buah. Seperti buah apel dan jeruk mandarin dijual dengan harga satuan yakni Rp1.000/buah. Kemudian mangga harum manis dijual dengan harga Rp5.000 untuk tujuh buah. Itu untuk jenis buah yang dijual tanpa kiloan, tapi dijual persatuan. Jajanan yang lainnya seperti minuman ringan dijual rata-rata Rp1.500. Ada juga yang menjual berbagai macam untuk keperluan remaja seperti jepitan rambut, karet rambut, bross, gelang, anting, bandana sampai peniti yang dijual rata-rata Rp1.000 untuk satuan maupun bungkusan. Selain keperluan para remaja, keperluan untuk pria juga ada. Seperti korek senter, kemudian kunci gembok, tang, lem super, ikat pinggang sampai gunting kuku dan harganya bervariasi mulai dari Rp1.000 sampai Rp5.000/buah.
Selain pedagang asongan di KRL Ekonomi ada berbagai macam jenis pengamen. Mulai dari yang sekedar menyanyi tidak jelas sambil bertepuk tangan, penyanyi bersuara lantang membawa tas berisi pengeras suara, serombongan pengamen yang berformasi band dengan membawa alat musik dan sound system lengkap seperti gitar akustik, gitar bass, keyboard dan tam-tam (semacam alat musik drum tetapi dalam bentuk sederhana / mini). Adapula tunanetra yang mengaji, membaca ayat suci atau menyanyi juga. Mereka dituntun oleh rekannya yang tidak buta, atau berjalan sendiri membawa tongkat. Anak-anak yang bekerja menyapu lantai gerbong untuk sekedar mendapat imbalan atas jasanya itu. Pengemis pun tak kalah bersaing dengan yang lainnya, mereka menyatu dengan penumpang, pedagang asongan dan pengamen. Pengemis di KRL ini mulai dari anak kecil, dewasa dan hingga lansia.

Foto. 2
Pengemis, Pedagang Asongan di Gerbong KRL Ekonomi


Gerbong Kereta sebagai Lahan Mencari Nafkah
Nafkah merupakan semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti pakaian, makanan dan sebagainya.[1] Mencari nafkah hukumnya wajib selama itu halal. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari semestinya kita harus bekerja. Dalam hal ini semua pedagang asongan, pengamen dan pengemis yang berekerja di gerbong kereta ini pada dasarnya mereka hanya berharap untuk makan sehari sekali saja sudah bersyukur. Pedagang asongan yang bekerja sebagai pedagang disini, tidak semuanya bekerja sebagai pedagang saja. Maksudnya diantara mereka menjadikan profesi menjadi pedagang asongan ini sebagai pekerjaan sampingan.

“ Saya bekerja dikonveksi yang ada dibelakang plaza muria agung itu dari jam 09.00 - 16.00, terus saya mulai dagang dari jm 16.00 - 20.00.”[2]

Di samping itu menurut pedagang, berjualan di gerbong kereta lebih banyak barang dagangan yang laku dan dianggap lebih efektif.

“ Jualan diatas kereta lebih laku, jadinya kan orang yang tadinya ngga mau beli jadi beli soalnya saya bolak-balik di depan penumpang.”[3]

Dampak Yang Dirasakan Para Penumpang KRL Ekonomi
Dampak yang dirasakan para penumpang KRL Ekonomi Bogor-Jakarta tentang adanya pedagang asongan yang berjualan di gerbong ini mengakibatkan berbagai opini di dalam masyarakat. Dengan diperbolehkannya pedagang asongan berjualan digerbong kereta telah membuka kesempatan bagi para pedagang dengan modal yang rendah untuk mendapatkan keuntungan yang lumayan.

“ Sebenarnya sih naek kereta ekonomi tuh ga nyaman banget tapi mau gimana lagi, para pedagang kan cari uang buat makan juga kan. Jadi mau diapain lagi, lagian juga saya terbantu adanya pedagang disini jadi maklum aja kan naik kereta ekonomi”.[4]

Dari wawancara tadi menandakan bahwa para pedagang asongan ini disamping membantu para penumpang dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya juga disisi lain para pedagang ini mengganggu kenyamanan penumpang pada umumnya. Penumpang kereta ekonomi seolah-olah sudah terbiasa dengan keadaan dimana mereka berada dalam ketidak nyamanan dalam mendapatkan pelayanan transportasi publik.

Peraturan Bagi Pedagang Asongan Muncul
Tulisan inilah yang bertengger di dinding-dinding setiap stasiun. "Dilarang keras melakukan kegiatan mengamen, mengemis, berdagang asongan dan kegiatan lain yang mengganggu ketertiban dan kenyamanan di dalam kereta api". Para pedagang asongan si stasiun Bogor bukannya pedagang asongan yang tidak terdaftar melainkan mereka terdaftar atau pedagang resmi di stasiun Bogor. Mereka mempunyai Kartu Tanda Anggota dengan prosedur menyerahkan foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan foto dan menyerahkan uang administrasi sebanyak Rp. 500.000 untuk membuat Kartu Tanda Anggota, kemudian setiap dikenakan biaya Rp. 40.000 / bulan. Berikut pernyataan yang dikemukakan Andri salah satu pedagang aksesoris remaja di Stasiun Bogor. 

“ Pedagang disini mulai dari yang berdagang aksesoris remaja, pedagang buah, pedagang asongan hingga pengamen memiliki kartu tanda anggota. Awal bikin bayar Rp. 500.000, tiap bulan dikenai biaya Rp.40.000, saya berjualan di stasiun ini sejak tahun 2003, sejak saya masih SMA sampai sekarang saya masih berjualan walaupun saya sudah bekerja di konveksi”.[5]

Pernyataan dari Andri tersebut menjelaskan bahwa pedagang yang ada di stasiun bogor ini merupakan pedagang yang legal atau resmi dan ada izin. Pemuda ini bekerja keras demi memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Penutup
Menurut Harris White, sektor informal merupakan kegiatan usaha perseorangan atau perusahaan yang tidak di daftarkan pada Pemerintah dan tidak membayar pajak. Pedagang asongan masuk kedalam golongan sektor informal perkotaan.  Dimana dalam sektor infromal, pemerintah kota mengalami keterbatasan dalam menyedikan sumber daya lokal perkotaan. Sektor informal cenderung bermodal kecil, tidak mempunyai perizinan yang ketat serta padat karya. Teori Granovetter, embededness yaitu keterkaitan peran sektor informal kota sering disebut sebagai sektor tradisional memainkan peranan penting baik di dalam penciptaan kesempatan kerja maupun sumber nafkah penduduk kota memberi kehidupan, bagian terbesar penduduk kota dengan penuh ketentraman tanpa adanya gejolak-gejolak sosial.[6] Sektor informal berperan penting dalam penciptaan lapangan kerja bagi sebagian penduduk kota.
Banyak alasan mereka berjualan, contoh mereka ada karena terpakasa tiada pekerjaan lain, korban PHK, rezeki yang halal, upaya mandiri, pendidikan rendah dan ada yang kesulitan mencari pekerjaan di tempat asal, keterbatasan modal, tidak memiliki lahan atau tempat untuk usaha dan yang paling pokok ialah untuk memenuhi biaya kehidupan sehari-hari atau menafkahi keluarganya, Pada dasarnya mereka yang bekerja di sektor informal merupakan bagian dari ekonomi perkotaan itu sendiri. Dimana dengan adanya sektor informal ini menjadi penyedia lapangan pekerjaan bagi orang lain.
Pedagang yang berjualan dikereta ekonomi ini merupakan pedagang yang berasal dari Citayam, Bojonggede, Cilebut dan Bogor. Sebagian dari mereka bekerja sepenuhnya menjadi pedagang dan menjadikan berdagangnya ini menjadi pekerjaan sampingan. Mereka mengaku berdagang di gerbong kereta ini lebih efektif dan ada taktik khusus, seperti pedagang permen yang biasa membagikan permennya terlebih dahulu sambil bercuap-cuap promosi kemudian diambil kembali dengan harapan penumpang ada yang mau beli.
Peraturan perkeretaapian yang melarang semua hal yang bersangkutan dengan hal yang mengganggu ketertiban dan kenyamanan di dalam kereta api di berlakukan. Tetapi para pedagang tidak gentar dan mereka terus bertahan. Pedagang asongan, pengamen di gerbong kereta memiliki kartu tanda anggota. Dimana setiap anggota membayar iuran perbulan sebesar Rp. 40.000 kepada TU yang ada di stasiun tersebut. Untuk memahami fenomena ini, penulis menuangkannya ke dalam peta konsep. Berikut peta konsep yang dapat diamati oleh pembaca.
 
Gambar . 1
Peta Konsep 

Peta konsep tersebut menunjukkan bahwa, kereta api ekonomi sebagai layanan transportasi publik yang murah dapat mendatangkan banyak pengunjung sehingga hal ini dilirik oleh sebagian orang untuk memanfaatkan peluang tersebut untuk menjadi pedagang asongan di kereta api. Hal ini didukung oleh banyaknya angka kemiskinan, pengangguran, PHK dan sebagian orang terpikir menjadikan pedagang asongan sebagai pekerjaan sampingan mereka. Keberadaan mereka yang berdagang di dalam gerbong kereta memunculkan suatu ketidaknyamanan para pengguna kereta ekonomi ini. Sehingga PT. KAI memberlakukan UU perkeretaapian tentang larangan pedagang asongan, pengemis dan pengamen melakukan kegiatan jual beli dan kegiatan lainnya yang mengganggu pengguna kereta tersebut. Setelah undang-undang itu diberlakukan maka razia bagi pedagang asongan pun dilakukan. Tetapi pedagang asongan tersebut tetap bertahan walaupun razia terus dilaksanakan.

Daftar Pustaka
Hans Dieter Evers dan Rudiger Korff. 2002. Urbanisme di Asia Tenggara : Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang – Ruang Sosial. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Ramli Ns Rusli, Jakarta:Ind-Hill Co-1992 Cetakan I, Agustus 1992

Sumber Lainnya
http://www.facebook.com/topic.php?uid=45833572331&topic=9029
http://masdodod.wordpress.com/2009/01/02/nafkah-dalam-kehidupan/
http://syaifuddin.wordpress.com/2009/10/01/sampai-kapan-krl-jabotabek-profesional/
http:id.wiki.detik.com/mediawiki/images/4/4e/Rute.jpg





[1] http://www.facebook.com/topic.php?uid=45833572331&topic=9029. Diakses pada 07 Desember 2009 pukul 20.16
[2] Hans Dieter Evers dan Rudiger Korff, Urbanisme di Asia Tenggara : Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang – Ruang Sosial, Jakarta. Yayasan Obor Indonesia, 2002, Hal. 303
[3] http://masdodod.wordpress.com/2009/01/02/nafkah-dalam-kehidupan/. Daikses, 12 Desember 2009 pukul 12.10
[4] Diwawancarai pada 15 November 2009
[5] Diwawancarai pada 21 November 2009
[6] Diwawancarai pada 21 November 2009
[7] Diwawancara pada 6 Desember 2009
[8] Ramli Ns Rusli, Jakarta:Ind-Hill Co-1992 Cetakan I, Agustus 1992

Tidak ada komentar:

Posting Komentar