Jumat, 25 Februari 2011

Tugas Kelompok Mata Kuliah Sosiologi Kurikulum : Kurikulum Mandiri "Sekolah Kami"


Abstrak
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Indonesia selayaknya mampu melayani setiap warga negaranya terutama di bidang pendidikan. Ketidakmampuan Pemerintah dalam penyediaan pendidikan yang murah mengakibatkan munculnya lembaga pendidikan informal sebagai alternatif tempat untuk menimba ilmu dan keterampilan. Ketidakjelasan tujuan pendidikan, kurang terarahnya kegiatan pembelajaran dan ketidaktepatan perangkat kurikulum yang ada  menjadi nilai minus bagi sistem pendidikan di Indonesia. Sekolah Kami sebagai salah satu contoh lembaga pendidikan yang bersifat informal telah menunjukkan eksistensinya bahwa pendidikan yang disediakan oleh Pemerintah merupakan sistem pendidikan yang tidak tepat. Makalah ini mencoba menggali sisi lain dari wajah pendidikan Indonesia saat ini. Wajah pendidikan yang sarat akan ketimpangan namun disisi lain melahirkan makna pendidikan yang sesungguhnya.

Latar Belakang
Penelitian ini hendak mendiskripsikan program pendidikan khusus anak-anak yang kurang mampu di Sekolah Kami Bintara Jaya, perbatasan Bekasi Barat dengan Jakarta Timur. Disini penyaji memfokuskan objek penelitian pada program pendidikan Sekolah Kami dimana merupakan salah satu contoh sekolah yang menerapkan pendidikan nonformal[1] yang menekankan pada keterampilan siswanya. Dengan adanya sekolah nonformal ini diharapkan penerapan kurikulum[2] yang berbeda di sekolah ini mampu memenuhi kebutuhan akan pendidikan masyarakat terutama masyarakat kurang mampu.
Perlu kita ketahui, saat ini pendidikan di negara kita masih berorientasikan ijazah. Padahal  dalam rangka menghadapi persaingan diera globalisasi, pendidikan itu harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga pendidikan tersebut mampu menghasilkan sumber daya  manusia yang bermutu dan dapat bersaing. Oleh karena itu, pendidikan dinegara kita seharusnya beroreantasi pada “competition minded”  yakni keahlian dan keilmuan[3].
Selain itu juga, program pendidikan seperti di Sekolah Kami Bintara Jaya ini merupakan cerminan yang sepatutnya dicontoh dalam pelaksanaan pendidikan di negara kita. Hal ini karena, program pendidikannya dilaksanakan secara swadaya oleh beberapa anggota masyarakat yang menyadari minimnya pendidikan di negeri ini dan penerapan kurikulum Sekolah Kami Bitara Jaya lebih menekankan pada keterampilan siswa. Jadi dengan adanya keterampilan ini, diharapkan siswa mampu mandiri, menghidupi dirinya sehingga kesejahteraan masyarakat pun dapat diwujudkan. Sehingga, untuk sasaran akhir dari keadaan masyarakat yang seperti ini adalah pencapaian cita-cita bangsa yang ada dalam isi Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea 4 ayat 1 yang antara lain disebutkan “...memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”[4] dapat tercapai.
Dalam rangka memudahkan pembaca untuk menelaah hasil penelitian program pendidikan Sekolah Kami Bintara Jaya ini, penyaji menuangkan hasil gagasan kedalam beberapa sub pokok bahasan pada penulisan makalah. Pertama, latar belakang yang berisi penjelasan dari tujuan penulisan makalah ini dan menjelaskan tentang apa yang menjadikan program pendidikan Sekolah Kami, Bintara Jaya ini menarik untuk dikaji. Kedua, konteks sosial historis Sekolah Kami Bintara Jaya yang mana akan dibahas tentang penyebab dibangunnya Sekolah Kami ini. Ketiga, analisis mengenai program pendidikana dan penerapan kurikulum Sekolah Kami Bintara Jaya dengan fokus kajian teoritis yang dilihat dari sudut pandang sosiologi dan politik. Keempat, Penutup yang mana berisi tentang kesimpulan dan saran atas penelitian Sekolah Kami Bintara Jaya tersebut.
Konteks Sosial Historis Sekolah Kami Bintara Jaya
Sebelum penyaji menjelaskan spesifikasi objek kajian penelitian, penyaji akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai awal sebelum berdirinya Sekolah Kami Bintara Jaya ini. Bermula dari kehadiran  transmigran korban bencana Tsunami Aceh yang mengalami kegagalan di daerah transmigrasi. Mereka ditampung di barak Penampungan kanwil DKI Transito, Pondok Kelapa, Jakarta Timur sejak tahun 2001. Keinginan mereka untuk kembali ke daerah asal mereka ternyata mengalami hambatan karena uang penggantian kerugian tidak dapat terealisir dengan cepat. Oleh karena itu banyak dari para transmigran yang mencoba bertahan di tempat penampungan sambil menunggu uang ganti dari Pemerintah. Hal ini mengakibatkan anak-anak mereka tidak dapat melanjutkan sekolahnya.
Pemerintah sudah memberikan kesempatan kepada mereka untuk dapat sekolah dengan biaya yang minimal di sekolah negeri terdekat, tetapi tidak semua dapat memanfaatkan kesempatan yang telah diberikan karena tidak ada biaya sama sekali, jangankan untuk sekolah, untuk bertahan dipenampungan saja seluruh biaya hidup tergantung dari pemerintah dan masyarakat yang peduli kepada mereka.
Kondisi ini menggerakan Dr. Irina (pendiri),dan kawan-kawan untuk memfasilitasi pendidikan anak-anak para transmigran yang terhenti pendidikannya. Dengan keterbatasan yang ada, Dr. Irina mendirikan semacam SEKOLAH  yang bersifat tidak formal dengan menggunakan fasilitas 2 buah barak di Transito ini. Semula tenaga pengajarnya adalah para sukarelawan dengan materi yang disesuaikan dengan masing-masing tingkatan berdasarkan kurikulum Depdiknas RI[5]. Dr. Irina menjalankan kegiatan ini tidak menggunakan bentuk badan hukum karena terbentur dengan pengetahuan akan peraturan-peraturan yang malah akan menyita waktu untuk mempelajarinya.
Awalnya hanya anak-anak transmigrasi saja yang diajar, namun setelah 2 tahun berjalan anak-anak yang berada di sekitar Wisma Transito, yang mayoritas dari anak pemulung juga ikut serta dalam kegiatan belajar di sekolah Kami ini. Jumlah peserta didiknya pun kian meningkat mencapai 120 orang anak umur 5 sampai 15 tahun. Berikut suasana belajar yang ada di barak Transito.

 
 
Gambar diatas menunjukkan suasana belajar dalam salah satu ruang di wisma transito. Anak-anak ini sangat antusias membaca buku menandakan bahwa mereka memiliki semangat yang tinggi meski dalam kesulitan.

Pertengahan tahun 2004, para transmigran ini secara berangsur-angsur mulai meninggalkan barak menuju ke daerah transmigrasi baru yang disediakan pemerintah. Hal ini menyebabkan kegiatan belajar Sekolah Kami kemudian oleh petugas dari Kanwil Tenaga Kerja dan Transmigarsi DKI, diperintahkan untuk segera dihentikan. Namun karena kesadaran para pengurus dan kepedulian terhadap pendidikan anak-anak yang kurang mampu ini, Sekolah Kami pun tetap dipertahankan walau sering mengalami perpindahan lokasi.
Melalui proses permohonan izin penggunaan gedung kepada Kepala Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi DKI Jakarta dan surat permohonan kepada Kepala Sudin Pendidikan Menengah dan Tinggi Kodya Jakarta Timur, pada tanggal 1 Maret 2005 kegiatan belajar mengajar dimulai di gedung PKMB itu. Hal ini menyebabkan status program-program pendidikan Sekolah Kami diintegrasikan dengan program PKBM/ Pendidikan Luar Sekolah. Namun untuk penyelenggaran kegiatan pendidikan dan pembiayaan Sekolah Kami ini madiri.
Beberapa selang waktu kemudian, Sekolah Kami berhasil menyewa sebidang tanah milik disekitar lapak-lapak pemulung didaerah Bintara Jaya, Bekasi Barat diperbatasan dengan wilayah Jakarta Timur. Dengan demikian maka proses belajar mengajar dapat segera dilanjutkan tanpa memberikan kesempatan anak-anak kembali ke jalan lagi yang tentunya hanya akan menambah permasalahan. Dan untuk struktur kepengurusan  Sekolah Kami Bintara Jaya yang masih tetap bertahan sampai sekarang adalah sebagai berikut.


 Analisis mengenai Program Pendidikanan dan Penerapan Kurikulum Sekolah Kami Bintara Jaya
Pelayanan pendidikan di Indonesia saat ini masih sangat memprihatinkan, ini dapat dilihat dari kurang meratanya penyelenggaraan pendidikan di segala aspek kehidupan dan seluruh lapisan masyarakat. Dalam Undang-undang Dasar 1945 Bab XII tentang pendidikan dan kebudayaan pasal 31 ayat 1 dijelaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan[1]. Namun, pada kenyataannya pelayanan pendidikan khusus anak-anak yang kurang mampu dirasakan masih sangat minim. Padahal, anak-anak yang kurang mampu tersebut merupakan aset negara yang sangat berharga sebagai generasi penerus bangsa dimana potensi dirinya harus dikembangkan untuk menghadapi tantangan persaingan global. Dengan kenyataan tersebutlah, sepertinya menjadi salah satu alasan pendirian sekolah yang bersifat nonformal seperti Sekolah Kami Bintara Jaya ini. Sehingga, untuk mengetahui program pendidikan dan penerapan kurikulum yang ada di Sekolah Kami Bintara Jaya, maka akan dianalisis lebih lanjut sesuai dengan sudut pandang aspeknya.

Kemunculan Sekolah Kami Ditinjau dari Aspek Sosiologis
Dalam penerapan program pembelajaran, materi dan pengajaran yang diberikan di Sekolah  Kami Bintara Jaya disesuaikan dengan kemampuan peserta didik dan kemampuan pengajarnya dimana peserta didik diajarkan untuk memahami materi pelajaran berdasarkan logika dan pemahaman bacaan. Sehingga mata pelajarannya dibatasi hanya kepada pelajaran Berhitung, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Umum, Budi Pekerti dan Agama Islam. Namun yang paling diutamakan dalam penerapan program pendidikan di sekolah Kami Bintara Jaya adalah pendidikan keterampilan yang disesuaikan dengan usia dan kemampuan mereka. Jadi program pendidikan di Sekolah Kami Bintara Jaya ini diarahkan untuk membangun dan mengembangkan karakter serta potensi[2] yang dimiliki oleh peserta didik. Hal ini sesuai dengan fungsi manifes institusi pendidikan menurut Harton dan Hunt yang tercantum dalam kurikulum sekolah yang terselubung (hidden curriculum) yang tidak disadari tetapi meskipun demikian berfungsi pula untuk menanamkan pengetahunan, keterampilan atau nilai tertentu[3].

Aspek Ekonomi
Aspek ekonomi memiliki keterkaitan dengan pendidikan secara makro dalam tercapainya tujuan pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Hal ini karena, untuk meningkatkan kualitas ekonomi di era globalisasi seperti sekarang, pendidikan ikut andil dalam penyelenggaraannya guna mencetak sumber daya manusia yang terampil dan bermutu. Oleh karena itu dalam rangka menjawab tantangan persaingan global, selain menanamkan aspek spiritual dan ilmu-ilmu murni lain, peserta didik juga harus dibekali dengan beberapa keterampilan. Namun pada penerapannya, pendidikan di Indonesia masih mengalami ketertinggalan karena pendidikan kita saat ini masih beroreantasikan pada ijazah bukan pada skill dan keilmuan.
Dalam kasus  ini, Sekolah Kami Bintara Jaya merupakan salah satu contoh sekolah nonformal yang menerapkan kurikulum dengan penerapan pendidikan berupa penekanan pada keterampilan untuk para peserta didiknya. Hal tersebut sangat berguna bagi para peserta didik yang rata-rata berasal dari para pemulung dan dhua’afa demi neningkatkan kesejahteraan mereka. Program pendidikan yang seperti ini merupakan cerminan dari penerapan teori human capital dimana pendidikan non formal merupakan salah satu bentuk aplikasi dari pengembangan potensi peserta didik  guna memperluas alternatif untuk memilih profesi atau pekerjaan yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan[4]. Sehingga adapun manfaat dari penerapan program pendidikan di Sekolah Kami Bintara Jaya dengan mengunakan kurikulum yang lebih menekankan pada keterampilan siswa sangat dirasakan oleh para masyarakat yang kurang mampu seperti contoh, kakak beradik Togar dan Toni Berikut penuturan dari Togar.

Gara-gara masuk Sekolah Kami ini, saya bisa jahit baju dan tas. Kayak nya saya bisa itu udah satu, dua tahunan. Gara-gara itu juga sekarang saya bisa bantu orang tua, dan gak lagi mulung”[5].


Kemunculan Sekolah Kami Ditinjau dari Aspek Politik
Pada dasarnya manusia sebagai makhluk sosial memiliki hakikat politis yaitu pelaku kehidupan masyarakat dan bernegara yang memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara. Jika di analisis dengan kacamata politik maka Dr. Irina sebagai pendiri Sekolah Kami telah mencerminkan apa yang disebut sebagai manusia politik. Ia menyadari bahwa dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang menginginkan sistem pendidikan yang terjangkau bagi masyarakat miskin. Pendidikan saat ini menurutnya memihak dan berorientasi kepada materi saja. Orang yang memiliki banyak uang dapat memiliki kualitas pendidikan yang bermutu sedangkan orang yang miskin akan jauh dari kualitas pendidikan yang bermutu. Hal ini lah yang ditentang oleh Dr. Irina bahwa pendidikan yang bermutu tidak hanya dimiliki oleh kaum yang bermateri melimpah akan tetapi kualitas pendidikan bermutu dapat di nikmati oleh kaum yang berada di level bawah.

Menurut Magnis-Suseno, dimensi politis manusia ialah dimensi di mana manusia menyadari diri sebagai anggota masyarakat sebagai keseluruhan yang menentukkan kerangka kehidupannya dan yang ditentukan kembali oleh tindakannya. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi sesorang dalam menempatkan diri dalam suatu masyarakat dan rasa tanggung jawabnya atas kelangsungan hidup masyarakatnya[6]. Kesadaran akan perannya sebagai warga negara Dr. Irina wujudkan melalui lembaga pendidikan. Menurutnya pendidikan merupakan akar terpenting dalam membangun karakter bangsa.
Sekolah Kami sebagai penyedia lembaga pendidikan yang bersifat nonformal memiliki aspek politis yang laten. Sekolah Kami yang memiliki kurikulum mandiri terikat oleh ketentuan pemerintah. Sehingga proses pendidikan yang berlangsung di Sekolah Kami terikat dengan struktur yang telah ditentukan Depdiknas sebagai pemegang tertinggi pendidikan yang ada di Indonesia. Dalam hal ini muncul suatu dualitas, dimana agen (guru, siswa) dan struktur (kurikulum) saling mempengaruhi dan bersifat mengikat. Sehingga alumni Sekolah Kami yang memiliki kurikulum mandiri bergabung dengan PKBM, mengingat bahwa setiap siswa yang ingin melanjutan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi diharuskan mengikuti program kejar paket.


Kesimpulan

Pada umunya orientasi pendidikan di Indonesia mengacu kepada standar proses pendidikan yang di tentukan oleh Pemerintah. Hal ini telah menjadi kebiasaan padahal standar proses pendidikan yang pemerintah buat kadang tidak sesuai dengan karakter setiap peserta didik. Factor inilah yang melatarbelakangi Sekolah kami untuk menyusun kurikulumnya sendiri. Kurikulum yang dibuat pemerintah lebih mengacu kepada hasil yakni ijazah yang cenderung mengabaikan keahlian. Bertolak belakang dengan ketentuan pemerintah, kurikulum sekolah kami justru lebih menekankan kepada proses dan penanaman nilai, norma dan keahlian (skill) yang sesuai dengan minat dan bakat peserta didik. Munculnya kurikulum mandiri di Sekolah Kami merupakan suatu perwujudan dari penentangan yang dilakukan Sekolah Kami. Karena kurikulum yang digunakan dikebanyakan sekolah formal dinilai lebih menitik beratkan kepada akademik saja, sedangkan di Sekolah Kami ini kurikulumnya lebih menitik beratkan kepada keterampilan. 

 
Daftar Pustaka

Sumber Buku:

Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pelita Harapan. 2004. Seminar Pendidikan Nasional “Visi Pendidikan Indonesia: Menuju Indonesia Baru Melalui Pendidikan”.  Jakarta: Universitas Pelita Harapan Perss.

Fattah, Nanang. 2004. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Martini, Sri dkk. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Lembaga Negara Pengawal Konstitusi.

Sanjaya, Wina.  2006.  Startegi Pembelajaran Beroreantasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Pranada Media Group.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Suseno, Franz Magnis.  1987. Etika Politik.  Jakarta : Gramedia

Sumber Lainnya:
http://www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas.pdf
http://www.sekolahkami.web.id/index


[1] Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan  Nasional  Bagian Kelima tentang Pendidikan Nonformal Pasal 26 Ayat 1 menjelaskan bahwa  Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Dan Ayat 2 menjelaskan bahwa Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Diambil dari http://www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas.pdf  (diakses tanggal 1 Januari 2011).  Hal. 8-9.
[2] Ibid., hal. 2. Untuk lebih jelasnya pengertian kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
[3] Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pelita Harapan, 2004, Seminar Pendidikan Nasional “Visi Pendidikan Indonesia: Menuju Indonesia Baru Melalui Pendidikan”, Jakarta: Universitas Pelita Harapan Perss. hal. 13.
[4] Dra. Sri Martini, M.Pd, dkk, 2009, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Universitas Negeri Jakarta. hal.1.
[5] Hal ini terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan  Nasional  Bab X Pasal 36 Ayat 2  yang berbunyi :Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Dan Ayat 3 yang berbunyi: Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diambil dari http://www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas.pdf  (diakses tanggal 1 Januari 2011).  Hal. 13
[6] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2009, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Lembaga Negara Pengawal Konstitusi. Hal. 55.
[7] Dr.Wina Sanjaya, M. Pd, 2006, Startegi Pembelajaran Beroreantasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana Pranada Media Group. Hal. 2.
[8]Kamanto Sunarto , 2004, Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi), Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hal. 66. Menurut Horton dan Hunt fungsi manifes instritusi pendidikan ialah, antara lain, mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah, mengembangkan bakat perseorangan demi kemuasan pribadi maupun bagi kepentingan masyarakat, melestarikan kebudayaan, menanamkan keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi dan sebagainya.
[9] Dr. Nanang Fattah, 2004, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal. 16. Pada dasarnya teori human kapital, yaitu suatu aliran..yang menganggap  bahwa manusia merupakan suatu bentuk kapital sebagai mana bentuk kapital lainnya seperti mesin, teknologi, tanah, uang, material yang menentukan pertumbuhan produktivitas melalui infestasi dirinya sendiri.
[10] Diwawancarai pada tanggal 29 Desember 2010.
[11] Franz Magnis-Suseno, 1987, Etika Politik, Jakarta : Gramedia, hal. 20

Berjuang di Gerbong Kereta : Bertahannya Pedagang Asongan di KRL Bogor – Jakarta


Abstrak
Tulisan ini ingin menjelaskan mengenai pedagang asongan yang berjualan di gerbong KRL Bogor-Jakarta dan menjelaskan tentang bagaimana daya tarik kereta kelas ekonomi ini menjadi lahan mencari nafkah bagi pedagang asongan. Bagaimana terbentuknya pedagang asongan di KRL ini hingga memunculkan perundang-undangan yang melarang mereka melakukan transaksi jual beli yang dianggap oleh PT. KAI dan sebagian masyarakat mengganggu kenyaman pengguna KRL. Serta bagaimana bertahannya mereka dari razia-razia yang di lakukan oleh PT KAI bersama tim gabungan dari Kencana Lima, Polisi, dan TNI.

Pengantar
Di negara berkembang sektor informal ini berperan penting. Dalam hal ini Indonesia termasuk di dalamnya. Di Indonesia, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2008, 73,53 juta dari 102,05 pekerja Indonesia (72 persen) bekerja di sektor informal. [1] Sektor informal ini adalah sektor yang tidak terorganisasi, tidak teratur  dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar. Sektor ini memiliki ciri-ciri seperti jumlah unit usaha yang banyak tetapi dalam skala yang kecil, struktur kepemilikannya individu atau keluarga, dan modal relatif kecil jika dibandingkan dengan sekor formal. Menurut Harris White, banyak pekerja yang bekerja di sektor informal ini di cap sebagai black economy, shadow economy dan underground economy. Sektor informal ini mengalami marginalisasi dalam struktur ekonomi karena konstribusi secara ekonomi bagi kota sangat rendah bahkan tidak ada, sering kali menjadi masalah dalam keamanan dan ketertiban di perkotaan. Di dalam masyarakat kehadiran para pedagang di sektor informal ini seperti pedagang asongan, pedagang kaki lima, kuli angkut, dan lain-lain sering di anggap sebagai orang yang berpendidikan rendah, miskin, tidak punya keterampilan khusus. Pada dasarnya keberadaan pekerja di sektor informal ini merupakan suatu ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan.

Dalam penelitian ini ingin mengkaji mengenai pedagang asongan yang berjualan di gerbong KRL ekonomi. Kegiatan perdagangan ini termasuk ke dalam wirausaha dalam sektor informal mencakup usaha perorangan yang bersala kecil. Salah satu dari bidang ekonomi informal ini antara lain pedagang kaki lima dan pedagang asongan. Pedagang asongan atau keliling adalah pedagang yang menawarkan barang dagangannya langsung kepada pembeli dengan modal yang relatif kecil, siapa saja dapat melakukannya dan tidak ada izin resmi. Para pedagang asongan ini dapat ditemui di sudut kota besar seperti di terminal, tempat wisata, stasiun dan tempat-tempat ramai lainnya.

Objek penilitian didasarkan pada pedagang asongan yang memilih gerbong KRL Ekonomi menjadi lahan untuknya mencari nafkah. Angkutan publik ini pada kenyataannya sedikit bergeser dari fungsi awal tetapi tidak merubah fungsi awalnya tersebut. Fungsi yang sedikit bergeser yang telah dijelaskan diatas tadi yaitu selain kereta yang berfungsi sebagai angkutan publik dan juga kereta yang berfungsi sebagai lahan tempat berdagang para pedagang. Mereka tidak punya lahan untuk berdagang, karena terlalu mahal untuk menyewa ruko atau tempat berdagang lainnya. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan gerbong kereta ekonomi yang ramai oleh penumpang serta penjagaan yang tidak terlalu ketat. Harga tanah membumbung dan kota-kota dunia ketiga dilanda gelombang spekulasi tanah begitu pengembangan kota dilaksanakan.[2] Sulit mencari lahan untuk tempat berdagang dan terlalu mahalnya mereka untuk membayar sewa mendorong mereka untuk mencari peluang alternatif lain untuk berinvestasi.

Menyangkut hal yang diatas Undang-Undang Perkeretaapian telah membuat peraturan pasal 207 UU Nomor 23 tahun 2007 tentang perkeretaapian bahwa secara garis besar penumpang yang tidak memiliki tiket akan di denda, pedagang asongan, pengamen, dan pengemis di larang berdagang, mengamen dan mengemis di dalam gerbong kereta. Bagi mereka yang melanggar akan diancam hukuman tiga bulan penjara atau denda Rp 15 juta.

Untuk memahami dan menggali penelitian, tulisan ini dilengkapi data pendukung. Bagian pertama, profil dan sejarah KRL Ekonomi Bogor Jakarta, dalam bagian ini menjelaskan keadaan dan kelayakan kereta kelas ekonomi ini sebagai alat transportasi publik. Kedua, data-data yang bersumber dari wawancara dan dokumentasi.



Sistematika Penulisan
Secara garis besar tulisan ini akan menjelaskan beberapa bagian. Bagian pertama, berisikan pengantar yang menerangkan tentang pentingnya peran sektor informal dalam menggerakan roda perekonomian dan pengentasan pengangguran. Bagian yang kedua, menerangkan mengenai KRL Ekonomi Bogor-Jakarta sebagai transportasi alternatif para kaum urban. Bagian yang ketiga, mendeskripsikan tentang pedagang asongan yang melakukan transaksi jual-beli di dalam gerbong kereta. Bagian yang keempat, menjelaskan tentang gerbong kereta sebagai lahan untuk mencari nafkah bagi kaum marginal. Bagian yang kelima, dampak yang dirasakan pengguna kereta karena banyaknya pedagang yang berjualan di gerbong kereta ini. Bagian yang keenam, peraturan bagi pedagang asongan muncul. Ketujuh, penutup. Dalam bagian ini merupakan bagian dari keseluruhan pembahasan dan bagaimana pendapat penulis dalam memandang suatu fenomena yang sedang dibahas ini.


Jejak Historis KRL Ekonomi Bogor-Jakarta
KRL Ekonomi merupakan salah satu pelayanan dari Stasiun Bogor yang melayani penumpang rute Bogor-Jakarta. KRL ini kereta yang tersibuk jika dibandingkan dengan KRL yang lainnya.  Kereta Rel Listrik terbagi atas 3 kelas, yaitu : kelas pertama kereta Expres Pakuan yang hanya berhenti pada stasiun-stasiun tertentu saja seperti Stasiun Bojong Gede, Stasiun Depok Baru, Pondok Cina, Stasiun Universitas Indonesia, Stasiun Djuanda kemudian langsung menuju Stasiun  Jakarta Kota dengan harga tiket Rp. 11.000,  kelas yang kedua yaitu kereta Ekonomi AC yang berhenti disetiap stasiun dengan harga tiket Rp. 5.500 tujuan Stasiun Jakarta Kota, kereta ini mempunyai fasilitas yang sama dengan kereta Expres Pakuan, kereta kelas ketiga yaitu Kereta Ekonomi yang berhenti disetiap stasiun dengan harga tiket Rp. 2000 tujuan Stasiun Jakarta Kota.
Jumlah armada KRL Ekonomi yang dipunyai oleh stasiun Bogor untuk rute Bogor-Jakarta ini berjumlah 5 unit. Kereta ini mempunyai 8 gerbong. Masing-masing gerbong mempunyai daya tampung penumpang sebanyak 76 orang, pergerbong terdiri dari 50 tempat duduk. Akan tetapi pada kenyataannya bisa lebih dari itu terutama pada saat jam berangkat para pekerja dan jam pulang pekerja. Para penumpang KRL Ekonomi ini yang sering kali tidak memperhatikan keselamatannya. Bahkan ada penumpang yang memaksakan diri untuk menaiki atap gerbong. Tentu saja hal ini membahayakan bagi dirinya sendiri dan dapat mengganggu kenyamanan para pengguna kereta ini. Banyak kasus tentang penumpang yang memaksakan diri untuk menaiki kereta ekonomi yang sudah terlampau sesak oleh penumpang. Dimana para penumpang ekonomi yang berada di atas gerbong terkena kabel KRL yang berkekuatan tinggi. Hal ini tidak memunculkan rasa takut sehingga para penumpang tetap saja menaiki atap gerbong, padahal sering ada teguran dan larangan dari petugas stasiun.


Fasilitas yang ada di dalam gerbong kereta terdiri dari 8 kipas angin yang tidak berfungsi. Serta terdapat lampu sebagai penerangan gerbong yang berfungsi tetapi tidak jarang ada salah satu gerbong yang lampu penerangannya tidak berfungsi. Dalam satu gerbong terdapat 4 pintu keluar masuk dari sisi kanan dan kiri yang kondisinya sudah tidak layak dan bahkan dapat membahayakan para penumpang. Selain itu, kondisi kaca jendela banyak yang pecah dan atap gerbong pun bocor sehingga pada saat musim hujan, air hujan bisa masuk ke dalam gerbong. Hal ini tentu saja mengganggu kenyaman para penumpang.

Denah. 1
Rute Perjalanan KRL JABODETABEK

 
Tabel. 1
Jadwal pemberangkatan KRL Ekonomi Bogor tujuan Jakarta
 
 Rute yang dilewati KRL Ekonomi di mulai dari stasiun pemberangkatan awal Stasiun Bogor melewati Stasiun Cilebut, Bojonggede, Citayam, Depok Lama, Depok Baru, Pondok Cina, Universitas Indonesia, Universitas Pancasila, Lenteng Agung, Tanjung Barat, Pasar Minggu, Pasar Minggu Baru, Duren Kalibata, Cawang, Tebet, Manggarai, Cikini, Gondangdia, Gambir, Djuanda, Sawah Besar, Mangga Besar, Jayakarta, pemberhentian terakhir Stasiun Jakarta Kota.

Pedagang Asongan di KRL Ekonomi Bogor-Jakarta

Pedagang asongan di KRL bogor-Jakarta ini menawarkan berbagai macam barang mulai dari kamus bahasa Inggris, buku kumpulan doa lima ribu tiga (maksudnya lima ribu rupiah dapat tiga buku), sarung HP, pinsil warna, mainan, jeruk, apel, klengkeng, gambar tempel, penambal panci, aneka koran, tabloid, dan majalah, korek senter, kaos kaki, casing hp, aksesoris hp, jepitan rambut, kerupuk kulit, permen asem, tissue, tahu sumedang,  sampai korek kuping. Kemudian ada lagi penjual minuman ringan. Mereka menenteng jualannya dalam ember plastik hitam yang diisi dengan berbagai macam minuman dalam kemasan botol atau plastik, lengkap dengan potongan es batu yang berfungsi sebagai pendingin atau menggunakan keranjang plastik yang ditumpuk kemudian di bagian bawahnya diberi roda sehingga bisa didorong sepanjang gerbong. Mereka berjualan barang dagangan yang sama, sehingga harganya pun bersaing dengan pedagang lainnya.

Foto. 2
Kegiatan Pedagang Asongan di KRL Ekonomi Bogor-Jakarta
 

Keterangan Gambar : 1. Foto pedagang buah mangga yang sedang beristirahat diluar gerbong. 2. Foto pedagang aksesoris remaja yang sedang melayani pembelinya. 3. Foto pedagang  minuman ringan yang sedang mempersiapkan dagangannya untuk di perjual belikan di dalam gerbong kereta. 4. Foto pedagang minuman ringan yang berjualan diluar gerbong kereta.

Harga buah yang diperjual belikan bervariasi, mulai dari Rp1.000/buah sampai Rp5.000/buah. Seperti buah apel dan jeruk mandarin dijual dengan harga satuan yakni Rp1.000/buah. Kemudian mangga harum manis dijual dengan harga Rp5.000 untuk tujuh buah. Itu untuk jenis buah yang dijual tanpa kiloan, tapi dijual persatuan. Jajanan yang lainnya seperti minuman ringan dijual rata-rata Rp1.500. Ada juga yang menjual berbagai macam untuk keperluan remaja seperti jepitan rambut, karet rambut, bross, gelang, anting, bandana sampai peniti yang dijual rata-rata Rp1.000 untuk satuan maupun bungkusan. Selain keperluan para remaja, keperluan untuk pria juga ada. Seperti korek senter, kemudian kunci gembok, tang, lem super, ikat pinggang sampai gunting kuku dan harganya bervariasi mulai dari Rp1.000 sampai Rp5.000/buah.
Selain pedagang asongan di KRL Ekonomi ada berbagai macam jenis pengamen. Mulai dari yang sekedar menyanyi tidak jelas sambil bertepuk tangan, penyanyi bersuara lantang membawa tas berisi pengeras suara, serombongan pengamen yang berformasi band dengan membawa alat musik dan sound system lengkap seperti gitar akustik, gitar bass, keyboard dan tam-tam (semacam alat musik drum tetapi dalam bentuk sederhana / mini). Adapula tunanetra yang mengaji, membaca ayat suci atau menyanyi juga. Mereka dituntun oleh rekannya yang tidak buta, atau berjalan sendiri membawa tongkat. Anak-anak yang bekerja menyapu lantai gerbong untuk sekedar mendapat imbalan atas jasanya itu. Pengemis pun tak kalah bersaing dengan yang lainnya, mereka menyatu dengan penumpang, pedagang asongan dan pengamen. Pengemis di KRL ini mulai dari anak kecil, dewasa dan hingga lansia.

Foto. 2
Pengemis, Pedagang Asongan di Gerbong KRL Ekonomi


Gerbong Kereta sebagai Lahan Mencari Nafkah
Nafkah merupakan semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti pakaian, makanan dan sebagainya.[1] Mencari nafkah hukumnya wajib selama itu halal. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari semestinya kita harus bekerja. Dalam hal ini semua pedagang asongan, pengamen dan pengemis yang berekerja di gerbong kereta ini pada dasarnya mereka hanya berharap untuk makan sehari sekali saja sudah bersyukur. Pedagang asongan yang bekerja sebagai pedagang disini, tidak semuanya bekerja sebagai pedagang saja. Maksudnya diantara mereka menjadikan profesi menjadi pedagang asongan ini sebagai pekerjaan sampingan.

“ Saya bekerja dikonveksi yang ada dibelakang plaza muria agung itu dari jam 09.00 - 16.00, terus saya mulai dagang dari jm 16.00 - 20.00.”[2]

Di samping itu menurut pedagang, berjualan di gerbong kereta lebih banyak barang dagangan yang laku dan dianggap lebih efektif.

“ Jualan diatas kereta lebih laku, jadinya kan orang yang tadinya ngga mau beli jadi beli soalnya saya bolak-balik di depan penumpang.”[3]

Dampak Yang Dirasakan Para Penumpang KRL Ekonomi
Dampak yang dirasakan para penumpang KRL Ekonomi Bogor-Jakarta tentang adanya pedagang asongan yang berjualan di gerbong ini mengakibatkan berbagai opini di dalam masyarakat. Dengan diperbolehkannya pedagang asongan berjualan digerbong kereta telah membuka kesempatan bagi para pedagang dengan modal yang rendah untuk mendapatkan keuntungan yang lumayan.

“ Sebenarnya sih naek kereta ekonomi tuh ga nyaman banget tapi mau gimana lagi, para pedagang kan cari uang buat makan juga kan. Jadi mau diapain lagi, lagian juga saya terbantu adanya pedagang disini jadi maklum aja kan naik kereta ekonomi”.[4]

Dari wawancara tadi menandakan bahwa para pedagang asongan ini disamping membantu para penumpang dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya juga disisi lain para pedagang ini mengganggu kenyamanan penumpang pada umumnya. Penumpang kereta ekonomi seolah-olah sudah terbiasa dengan keadaan dimana mereka berada dalam ketidak nyamanan dalam mendapatkan pelayanan transportasi publik.

Peraturan Bagi Pedagang Asongan Muncul
Tulisan inilah yang bertengger di dinding-dinding setiap stasiun. "Dilarang keras melakukan kegiatan mengamen, mengemis, berdagang asongan dan kegiatan lain yang mengganggu ketertiban dan kenyamanan di dalam kereta api". Para pedagang asongan si stasiun Bogor bukannya pedagang asongan yang tidak terdaftar melainkan mereka terdaftar atau pedagang resmi di stasiun Bogor. Mereka mempunyai Kartu Tanda Anggota dengan prosedur menyerahkan foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan foto dan menyerahkan uang administrasi sebanyak Rp. 500.000 untuk membuat Kartu Tanda Anggota, kemudian setiap dikenakan biaya Rp. 40.000 / bulan. Berikut pernyataan yang dikemukakan Andri salah satu pedagang aksesoris remaja di Stasiun Bogor. 

“ Pedagang disini mulai dari yang berdagang aksesoris remaja, pedagang buah, pedagang asongan hingga pengamen memiliki kartu tanda anggota. Awal bikin bayar Rp. 500.000, tiap bulan dikenai biaya Rp.40.000, saya berjualan di stasiun ini sejak tahun 2003, sejak saya masih SMA sampai sekarang saya masih berjualan walaupun saya sudah bekerja di konveksi”.[5]

Pernyataan dari Andri tersebut menjelaskan bahwa pedagang yang ada di stasiun bogor ini merupakan pedagang yang legal atau resmi dan ada izin. Pemuda ini bekerja keras demi memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Penutup
Menurut Harris White, sektor informal merupakan kegiatan usaha perseorangan atau perusahaan yang tidak di daftarkan pada Pemerintah dan tidak membayar pajak. Pedagang asongan masuk kedalam golongan sektor informal perkotaan.  Dimana dalam sektor infromal, pemerintah kota mengalami keterbatasan dalam menyedikan sumber daya lokal perkotaan. Sektor informal cenderung bermodal kecil, tidak mempunyai perizinan yang ketat serta padat karya. Teori Granovetter, embededness yaitu keterkaitan peran sektor informal kota sering disebut sebagai sektor tradisional memainkan peranan penting baik di dalam penciptaan kesempatan kerja maupun sumber nafkah penduduk kota memberi kehidupan, bagian terbesar penduduk kota dengan penuh ketentraman tanpa adanya gejolak-gejolak sosial.[6] Sektor informal berperan penting dalam penciptaan lapangan kerja bagi sebagian penduduk kota.
Banyak alasan mereka berjualan, contoh mereka ada karena terpakasa tiada pekerjaan lain, korban PHK, rezeki yang halal, upaya mandiri, pendidikan rendah dan ada yang kesulitan mencari pekerjaan di tempat asal, keterbatasan modal, tidak memiliki lahan atau tempat untuk usaha dan yang paling pokok ialah untuk memenuhi biaya kehidupan sehari-hari atau menafkahi keluarganya, Pada dasarnya mereka yang bekerja di sektor informal merupakan bagian dari ekonomi perkotaan itu sendiri. Dimana dengan adanya sektor informal ini menjadi penyedia lapangan pekerjaan bagi orang lain.
Pedagang yang berjualan dikereta ekonomi ini merupakan pedagang yang berasal dari Citayam, Bojonggede, Cilebut dan Bogor. Sebagian dari mereka bekerja sepenuhnya menjadi pedagang dan menjadikan berdagangnya ini menjadi pekerjaan sampingan. Mereka mengaku berdagang di gerbong kereta ini lebih efektif dan ada taktik khusus, seperti pedagang permen yang biasa membagikan permennya terlebih dahulu sambil bercuap-cuap promosi kemudian diambil kembali dengan harapan penumpang ada yang mau beli.
Peraturan perkeretaapian yang melarang semua hal yang bersangkutan dengan hal yang mengganggu ketertiban dan kenyamanan di dalam kereta api di berlakukan. Tetapi para pedagang tidak gentar dan mereka terus bertahan. Pedagang asongan, pengamen di gerbong kereta memiliki kartu tanda anggota. Dimana setiap anggota membayar iuran perbulan sebesar Rp. 40.000 kepada TU yang ada di stasiun tersebut. Untuk memahami fenomena ini, penulis menuangkannya ke dalam peta konsep. Berikut peta konsep yang dapat diamati oleh pembaca.
 
Gambar . 1
Peta Konsep 

Peta konsep tersebut menunjukkan bahwa, kereta api ekonomi sebagai layanan transportasi publik yang murah dapat mendatangkan banyak pengunjung sehingga hal ini dilirik oleh sebagian orang untuk memanfaatkan peluang tersebut untuk menjadi pedagang asongan di kereta api. Hal ini didukung oleh banyaknya angka kemiskinan, pengangguran, PHK dan sebagian orang terpikir menjadikan pedagang asongan sebagai pekerjaan sampingan mereka. Keberadaan mereka yang berdagang di dalam gerbong kereta memunculkan suatu ketidaknyamanan para pengguna kereta ekonomi ini. Sehingga PT. KAI memberlakukan UU perkeretaapian tentang larangan pedagang asongan, pengemis dan pengamen melakukan kegiatan jual beli dan kegiatan lainnya yang mengganggu pengguna kereta tersebut. Setelah undang-undang itu diberlakukan maka razia bagi pedagang asongan pun dilakukan. Tetapi pedagang asongan tersebut tetap bertahan walaupun razia terus dilaksanakan.

Daftar Pustaka
Hans Dieter Evers dan Rudiger Korff. 2002. Urbanisme di Asia Tenggara : Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang – Ruang Sosial. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Ramli Ns Rusli, Jakarta:Ind-Hill Co-1992 Cetakan I, Agustus 1992

Sumber Lainnya
http://www.facebook.com/topic.php?uid=45833572331&topic=9029
http://masdodod.wordpress.com/2009/01/02/nafkah-dalam-kehidupan/
http://syaifuddin.wordpress.com/2009/10/01/sampai-kapan-krl-jabotabek-profesional/
http:id.wiki.detik.com/mediawiki/images/4/4e/Rute.jpg





[1] http://www.facebook.com/topic.php?uid=45833572331&topic=9029. Diakses pada 07 Desember 2009 pukul 20.16
[2] Hans Dieter Evers dan Rudiger Korff, Urbanisme di Asia Tenggara : Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang – Ruang Sosial, Jakarta. Yayasan Obor Indonesia, 2002, Hal. 303
[3] http://masdodod.wordpress.com/2009/01/02/nafkah-dalam-kehidupan/. Daikses, 12 Desember 2009 pukul 12.10
[4] Diwawancarai pada 15 November 2009
[5] Diwawancarai pada 21 November 2009
[6] Diwawancarai pada 21 November 2009
[7] Diwawancara pada 6 Desember 2009
[8] Ramli Ns Rusli, Jakarta:Ind-Hill Co-1992 Cetakan I, Agustus 1992